Senin, 12 April 2010

HUBUNGAN POLITIK INDONESIA – REPUBLIK FEDERAL JERMAN Awang Bahrin, SH. Kepala Bidang Politik KBRI Berlin

. Pendahuluan
1. Hubungan diplomatik Indonesia – RFJ sudah ada sejak tahun 1952. Hubungan tersebut berlangsung dalam suasana yang cukup baik dan bersahabat meskipun dalam kurun waktu 48 tahun ada pasang-surutnya tergantung dari faktor-faktor dalam negeri dan luar negeri yang ikut menentukan kadar hubungan antara kedua negara.
Hubungan bilateral di berbagai bidang boleh dikatakan meningkat karena memang merupakan keinginan dan kepentingan masing-masing negara untuk meraih manfaat yang sebesar-besarnya dari hubungan tersebut. Dewasa ini hubungan yang cukup intensif adalah hubungan di bidang ekonomi dan perdagangan serta juga hubungan politik. RFJ telah membantu penyusunan UU Perbankan, UU Antimonopoli, dan diharapkan adanya berbagai masukan lagi sebagai perbandingan dalam rangka amandemen UUD 45 dan penyempurnaan UU Otonomi Daerah. Berbagai bantuan teknik dan pembangunan diberikan oleh RFJ kepada Indonesia dengan maksud untuk ikut berpartisipasi memacu laju pembangunan ekonomi karena bagi Jerman bahwa Indonesia yang stabil dan makmur merupakan pasaran empuk bagi hasil industri mereka dan dari segi politik bahwa situasi demikian akan menjadikan Indonesia sebagai stabilisator di kawasan Asia Tenggara.
2. Dengan terbentuknya pemerintahan baru di kedua negara, maka tentunya ada perubahan nuansa dari pendekatan hubungan walaupun tidak prinsipil. Pemerintah baru di RFJ kini dipegang oleh Partai Sosial Demokrat (SPD) yang berkoalisi dengan Partai Hijau (Gruene) setelah absen selama 16 tahun dipemerintahan karena dipegang oleh Partai Uni Kristen. Pemerintahan sekarang cenderung antara lain mengadakan pendekatan bilateral dengan memperhitungkan faktor HAM dan lingkungan hidup yang bila dikaitkan dengan situasi Indonesia saat ini maka kedua hal tersebut masih merupakan masalah bagi kita. Dipihak lain, Indonesia yang saat ini telah membentuk pemerintahan yang paling demokratis selama berdirinya Indonesia, telah mendapat dukungan positip dari masyarakat internasional termasuk Jerman. Kunjungan Bapak Presiden Abdurrachman Wahid ke berbagai negara, termasuk Jerman, telah mempererat kembali hubungan kedua negara dan adanya komitmen tegas dari Jerman untuk membantu Indonesia yang telah menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Sebagai negara yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara konsekwen Jerman merasa mempunyai tanggung-jawab moral untuk membantu perkembangan demokrasi di Indonesia, karena mementum situasi di tanah air memberi peluang kepada pihak Jerman untuk memberi bantuan apa saja tergantung dari apa permintaan dan kebutuhan yang diperlukan oleh pihak Indonesia.

II. Politik Luar Negeri Bebas Aktif
3. Sudah merupakan suatu konsensus nasional bahwa dasar politik luar negeri kita adalah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan GBHN dengan tujuan untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sedangkan watak dan sifatnya adalah anti kolonialisme. Secara eksplisit, istilah politik luar negeri bebas aktif tersebut tidak terdapat dalam UUD ataupun peraturan-peraturan lainnya. Namun istilah ini mulai banyak dipergunakan oleh para politisi dan negarawan kita semasa memuncaknya perang Korea (1950 – 1953). Kabinet RI ke-12 di bawah Perdana Menteri Dr. Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952) yang untuk pertama kalinya mencantumkan istilah ini dalam Program Kabinet yang antara lain menyatakan „menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif menuju perdamaian“. Isitilah ini dipertegas lagi oleh Presiden Soekarno pada HUT RI tgl. 17 Agustus 1952 bahwa „politik bebas dan aktif menuju perdamaian dunia“.
Sejak itulah, istilah politik luar negeri bebas dan aktif merupakan suatu istilah melekat dan istilah pelengkap pada watak dan sifat haluan politik luar negeri yang berjiwa anti kolonialisme dan pro-perdamaian dan tidak mengikatkan diri kepada salah satu blok kekuatan militer serta dapat bekerjasama atas dasar hidup berdampingan secara damai. Kebijakan politik luar negeri bebas aktif ini bukan merupakan suatu dogma yang mati, melainkan hanya sebagai suatu pedoman dalam bertindak di antara kedua kekuatan blok dunia pada saat itu yaitu Amerika Serikat dan sekutunya vs Uni Soviet dan sekutunya, demi kepentingan nasional dan perdamaian internasional.
4. Dalam suasana perang dingin yang tidak menentu, Gerakan Non Blok tahun 1961 muncul sebagai suatu gerakan moral dari negara-negara dunia ketiga yang berupaya untuk menjembati perang dingin dua kekuatan raksasa tersebut guna mencegah jangan sampai terjadi konfrontnasi terbuka apalagi perang nuklir yang dapat memusnahkan peradaban manusia. Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas dan aktif itu sebenarnya dapat bersifat kenyal artinya dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat itu walaupun prinsipnya tetap tetapi nuansanya dapat berubah.
5. Pedoman pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif Indonesia dewasa ini adalah Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang antara lain menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional dengan menitik-beratkan pada solidaritas antara negara berkembang, mendukung kemerdekaan bangsa, menolak penjajahan dalam segala bentuk serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat. Di samping itu, dengan telah disyahkannya Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri tanggal 14 September 1999 maka Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan politik luar negeri selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tersebut.
6. Dengan berubahnya lingkungan strategis dunia dewasa ini tentunya politik luar negeri kita perlu menyesuaikan dengan kecenderungan global yang fundamental seperti:
• Munculnya Amerika Serikat sebagai satu-satunya adikuasa politik-militer di dunia dan dalam waktu yang bersamaan timbul multi polarisme yang bersumber pada kekuatan-kekuatan politik ekonomi di Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur;
• Seiring dengan arus globalisasi dan interdependensi, semakin menguatnya kondisi saling ketergantungan antar-negara dan saling keterkaitan antara berbagai masalah-masalah global, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, keamanan, lingkungan hidup dan lain-lain;
• Semakin menguatnya peranan aktor non-pemerintah dalam percaturan internasional;
• Semakin menonjolnya masalah-masalah transnasional seperti Hak Azazi Manusia (HAM), demokrasi, good gevernance dan lingkungan hidup dalam agenda internasional.
Adanya perubahan lingkungan strategis tersebut telah memaksa Pemri untuk menyesuaikan polugrinya sesuai dengan tuntutan zaman bagi kepentingan nasional.
Situasi sosial politik dan keamanan serta masalah ekonomi di tanah air dewasa ini juga menjadi pertimbangan utama dalam pelaksanaan politik luar negeri kita saat ini.
Faktor-faktor internal dan external tersebut cukup kuat mempengaruhi kearah mana polugri yang akan kita tuju dewasa ini. Berdasarkan Pernyataan Pers Akhir Tahun, bulan Januari 2000 Menlu RI menyatakan bahwa prospek politik luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Pelaksanaan Politik Luar Negeri di tahun 2000 tampaknya akan dihadapkan pada berbagai tantangan, di samping tentunya kemungkinan peluang-peluang baru yang perlu dicermati secara seksama. Misi diplomasi akan tetap dikonsentrasikan pada upaya memperjuangkan kepentingan nasional yang bersifat mendesak dan perlu diprioritaskan. Sekalipun demikian, Indonesia secara aktif namun selektif akan tetap berperan serta dalam berbagai aktivitas bagi perdamaian dunia dan tentunya stabilitas di kawasan Asia Tenggara.
b. Modal dasar kinerja diplomasi khususnya dalam hal memperbaiki citra Indonesia adalah keberhasilan pelaksanaan pemilu 1998, proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang transparan dan demokratis serta mulai berfungsinya mekanisme check and balance antara eksekutif dan legeslatif. Dinamika ini menyebabkan bangsa Indonesia dewasa ini dikategorikan sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Dalam kaitan ini, kinerja diplomasi di berbagai fora internasional akan ditujukan untuk menjelaskan pada khalayak internasional bahwa bangsa Indonesia kini telah berada di jalur yang benar (the right path and direction) menuju Indonesia baru yang lebih demokratis.
c. Namun demikian dalam konteks nasional, modal dasar bagi pembangunan citra positip termaksud masih perlu ditopang dengan berbagai pekerjaan rumah yang tidak sedikit namun mendesak sifatnya, seperti: ihwal penegakan dan kepastian hukum, pembangunan aparatur pemerintah yang bersih dan berwibawa, pemajuan dan perlindungan HAM, serta penanganan berbagai isu yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Apabila isu-isu ini dapat ditangani dengan baik maka kinerja diplomasi untuk memperjuangkan berbagai kepentingan nasional yang mendesak sifatnya akan sangat terfasilitasi.
d. Dalam konteks bilateral, Indonesia bermaksud untuk lebih memantapkan sekaligus meningkatkan hubungan bilateral dengan negara-negara sahabat, seraya terus menjajagi kemungkinan perintisan pembinaan hubungan bilateral dengan negara-negara yang dinilai berpotensi membantu upaya pencapaian kepentingan nasional Indonesia. Indonesia juga akan terus mengupayakan kehidupan politik bertetangga baik dengan negara-negara yang secara geografis berbatasan langsung, namun tentunya dengan tetap didasarkan pada prinsip kesejajaran dan saling menghormati. Dalam hal Timor Timur, sekalipun dihadapkan pada kendala adanya berbagai keterbatasan, Indonesia akan tetap membantu proses transisi menuju kemerdekaan penuh Timor-Timur.
e. Sementara itu, sekalipun Indonesia dalam lima tahun ke depan telah berkomitmen untuk membina hubungan bersahabat yang lebih baik dengan beberapa negara besar yang merupakan major powers di Asia, hal ini tidaklah berarti Indonesia akan menomor-duakan hubungannya dengan berbagai negara sahabat yang secara geografis berjauhan dengan Indonesia. Rangkaian kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid selama tahun 1999 ke beberapa negara di berbagai kawasan, mensiratkan keteguhan prinsip menjaga hubungan bilateral dengan berbagai negara yang merupakan mitra sejajar Indonesia. Adapun komitmen untuk mengoptimalkan hubungan bersahabat dengan beberapa major powers Asia merupakan konsekwensi logis dari kenyataan geografis Indonesia yang merupakan bagian integral dari Benua Asia.
f. Dalam konteks regional, Indonesia memasuki tahun 2000 dengan sikap optimisme khususnya dengan memperhatikan kecenderungan mulai pulih, membaik dan stabilnya perekonomian negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur pada umumnya. Dalam konteks upaya bersama bagi pemulihan perekonomian Asia Tenggara, Indonesia sangat mendukung dan akan berpartisipasi aktif dalam berbagai langkah inovatif ASEAN, seperti rencana penggelaran promosi investasi bersama (Joint Investment Roadshow) yang akan dilakukan di tahun 2000, serta upaya untuk meningkatkan daya saing pasar AFTA melalui pengembangan ASEAN initiative.
g. Indonesia percaya bahwa tergabungnya kesepuluh negara Asia Tenggara dalam suatu wadah bersama merupakan modal dasar bagi revitalisasi kerjasama ASEAN di awal abad ke-21. Diharapkan proses pemantapan kerjasama dalam tubuh ASEAN akan menyebabkan organisasi ini dapat lebih berperan dalam upaya membantu menangani berbagai permasalahan yang dihadapi masing-masing negara anggota ASEAN, tanpa tentunya perlu melanggar prinsip non-interference ASEAN.
h. Dalam konteks global, Indonesia tetap menaruh harapan besar pada PBB dan tetap meyakini keabsahan institusi ini sebagai satu-satunya lembaga multilateral yang paling kompeten dalam pengambilan keputusan-keputusan penting yang bersifat mendunia. Namun Indonesia merasa prihatin atas kecenderungan ditinggalkannya PBB dalam penanganan masalah-masalah perdamaian dan keamanan, karena institusi ini dinilai tidak berdaya mengatasi berbagai konflik. Kelambanan PBB ini mendorong negara-negara besar tertentu untuk menggunakan kekuatan militer secara sepihak (unilateral) di luar kerangka PBB guna menghentikan eskalasi konflik, sebagaimana dalam krisis Kosovo di tahun 1999. Kebijakan sepihak yang tidak mengindahkan tata cara dan norma-norma internasional ini, selain bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara dikhawatirkan dapat mengundang reaksi balasan (counter reaction), sehingga berpontensi mengganggu perdamaian dan stabilitas dunia. Selain itu, penanganan krisis Kosovo secara sepihak menimbulkan kekhawatiran mengenai munculnya hegemonisme baru di awal abad ke-21. Indonesia berharap penanganan krisis seperti Kosovo serta kecenderungan penerapan humanitarian intervention dapat dihindari di tahun 2000 dan tahun-tahun selanjutnya.
i. Memperhatikan berbagai realitas di atas, maka di masa mendatang politik luar negeri Indonesia akan memprioritaskan hal-hal sebagai berikut:
• Citra Indonesia di mata masyarakat internasional perlu segera dipulihkan kembali karena berkaitan erat dengan kapasitas Indonesia untuk berperan aktif dalam percaturan internasional serta menjamin arus investasi ke Indonesia;
• Politik luar negeri Indonesia tetap ditujukan untuk menjaga kekuatan wilayah Indonesia, persatuan bangsa serta stabilitas nasional.
• Politik luar negeri Indonesia perlu terus diabdikan untuk menunjang kesejahteraan umum dan pemulihan total ekonomi nasional. Dalam hal ini, kedekatan Indonesia dengan negara-negara donor Barat akan tak terelakkan;
• Kebijakan hubungan ekonomi luar negeri perlu dilakukan dengan pendekatan secara politis-ekonomis tanpa mengabaikan stabilitas keamanan, sosial dan budaya yang diarahkan untuk menunjang prioritas pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat;
• Indonesia perlu tetap berperan aktif di ASEAN serta menjaga kekompakan (cohesion) sesama ASEAN. Dalam 32 tahun terakhir, Indonesia bersama negara ASEAN lainnya memainkan peranan sentral dalam membangun ASEAN dan membina orde regional kawasan;
• Indonesia perlu mewaspadai kiprah negara-negara Barat yang makin cenderung untuk memaksakan agenda politiknya terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dengan menggunakan tekanan-tekanan ekonomi dan politik serta berbagai bentuk sanksi. Demi kepentingan nasional, perlu diupayakan agar sejauh mungkin tekanan-tekanan tersebut dapat dihindarkan dengan menggalang solidaritas Asia. Khususnya perlu digalang kerjasama strategis di bidang politik dengan RRC dan India, sambil terus meningkatkan kerjasama regional Asia Timur, seperti negara-negara ASEAN, RRC, Jepang dan Korea Selatan sebagai komponen utamanya;
• Indonesia tetap perlu menjalankan politik luar negeri yang rasional dan moderat dengan mengandalkan prinsip-prinsip kerjasama internasional, saling menghormati kedaulatan nasional, dan non-interference. Diplomasi Indonesia dilaksanakan dengan menjauhi sikap konfrontatif.
• Indonesia perlu terus berperan aktif dalam diplomasi preventif dan upaya penyelesaian konflik;
• Hingga saat ini hubungan perdagangan luar negeri dilakukan dengan cara konvensional yaitu dengan hanya melihat kepada upaya-upaya untuk meningkatkan perdagangan ke pasar internasional. Untuk waktu ke depan diperlukan upaya-upaya untuk memperluas akses pasar dengan mencari potensi pasar yang baru seperti antara lain pasar di kawasan Timur Tengah;
• Dalam upaya untuk meningkatkan arus investasi asing ke Indonesia, telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Luar Negeri dan Menteri Investasi/Kepala BKPM pada tgl. 18 Mei 1999 tentang penugasan khusus kepada Perwakilan RI mengenai peningkatan kegiatan promosi investasi dan penyelesaian aplikasi persetujuan investasi di Perwakilan RI. Untuk itu, Departemen Luar Negeri perlu mempersiapkan SDM yang handal dengan anggaran cukup bagi pelaksanaan SKB tersebut;
• Sebagai upaya untuk mengembalikan citra pariwisata yang terpuruk tersebut, telah ditandatangani Nota Kesepakatan Bersama antara Departemen Luar Negeri dengan Departemen Seni dan Budaya pada tgl. 19 Oktober 1999 tentang pelaksanaan promosi pariwisata oleh Perwakilan RI di luar negeri. Untuk itu, Departemen Luar Negeri perlu melakukan langkah-langkah untuk melaksanakan upaya promosi tersebut;
• Sektor jasa yang perlu mendapat perhatian antara lain sektor perhubungan, pengiriman tenaga kerja Indonesia yang terlatih dan pengembangan kerjasama usaha kecil menengah.

III. Kebijakan Politik Luar Negeri Jerman
7. Sejak tercapainya kesepakatan koalisi antara Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau (Gruene) tanggal 20 Oktober 1998 untuk membentuk pemerintahan, maka pada prinsipnya politik luar negeri Jerman tidak mengalami perubahan mendasar dan masih bersifat melanjutkan kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Secara umum, pedoman kebijakan politik luar negeri RFJ antara lain:
• mengupayakan adanya suatu kerjasama damai dengan negara-negara tetangga;
• pengembangan kerjasama trans-atlantik;
• memperluas kerjasama Uni Eropa;
• memperkuat kerjasama pan-European di Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa;
• ikut bertanggung jawab bagi demokrasi dan stabilitas di kawasan Eropa Tengah, Timur dan Tenggara;
• penghormatan terhadap hukum internasional dan komitmen terhadap hak-hak azazi manusia;
• dalam menghadapi tantangan-tantangan baru di bidang ekonomi, teknologi, sosial dan ekologi, RFJ akan mengembangkan kebijakan pertahanan dan luar negeri sebagai suatu sumbangannya ke arah perlindungan masa depan dunia;
• tetap memenuhi komitmen terhadap hubungan internasional, pembatasan persenjataan, perlucutan senjata, keseimbangan kepentingan antara kawasan-kawasan di dunia baik secara ekonomi, ekologi dan keadilan sosial serta penghormatan terhadap hak-hak azazi di seluruh dunia;
• mendorong agar proses integrasi Eropa segera dapat tercapai sehingga bila berhasil menciptakan suatu „political union“ maupun „social and environmental union“ maka diharapkan akan membawa Eropa lebih dekat kepada rakyat sehingga Uni Eropa akan lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan rakyatnya;
• integrasi RFJ ke dalam Uni Eropa merupakan suatu hal penting dalam kebijakan RFJ. Oleh karena itu, RFJ sangat berkepentingan dalam masalah-masalah Uni Eropa seperti proses integrasi Eropa, pengangguran, mata uang tunggal EURO, masalah lingkungan, masalah persamaan kesempatan pada tingkat Eropa, demokrasi, dan upaya untuk memperkuat Parlemen Eropa;
• dalam rangka pengawasan perlucutan senjata nuklir, senjata kimia, senjata biologi dan senjata pemusnah massal lainnya, RFJ tetap menaruh perhatian penting dalam bidang ini sebagai suatu upaya pemeliharaan perdamaian secara global. RFJ tetap patuh terhadap tujuan penghapusan secara total semua senjata-senjata pemusnah massal dan akan selalu berpartisipasi dan berinisiatif guna mewujudkan tujuan ini dengan selalu bekerjasama pada pihak-pihak yang menjadi mitra dan sekutu Jerman. Suatu perlucutan senjata secara unilateral dapat merupakan pendorong yang berarti bagi proses perlucutan senjata secara lebih luas.
• PBB sebagai forum paling penting bagi pemecahan masalah-masalah global, maka perlu adanya upaya untuk memperkuat PBB, baik secara politis maupun secara ekonomis dan mereformasinya guna meningkatkan kemampuan dalam menangani masalah-masalah internasional. Partisipasi tentara RFJ dalam usaha menjaga perdamaian dan keamanan internasional adalah berdasarkan hukum internasional dan Undang-Undang Dasar Jerman. Oleh karena itu, RFJ akan memainkan peran aktif dalam mempertahankan PBB sebagai suatu „power monopoly“ dan berupaya juga untuk memperkuat peranan Sekjen PBB;

8. Sebagaimana Indonesia, kebijakan politik luar negeri RFJ ini tentunya disesuaikan dengan lingkungan strategis yang dikaitkan dengan kepentingan nasional RFJ. Pendekatan RFJ yang nampaknya lebih menitik beratkan kepada masalah Eropa, kiranya dapat dimengerti karena disitulah kepentingan RFJ saat ini.

IV. Hubungan Politik Indonesia – Republik Federal Jerman
9. Adanya pergantian pemerintahan yang hampir bersamaan antara kedua negara, telah memberikan nuansa-nuansa tersendiri terhadap hubungan kedua negara. Pemerintahan baru RFJ di bawah Koalisi Partai Sosial Demokrat dan Partai Hijau (Gruene) menganggap penting perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, khususnya pemerintah baru di bawah Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi perhatian penuh terhadap masalah demokratisasi dan penanganan masalah pelanggaran hak-hak azazi manusia. Penekanan polugri RFJ yang antara lain mencakup masalah-demokratisasi, masalah hak-hak azazi manusia dan lingkungan kiranya merupakan tolok ukur dalam menilai dan mengadakan hubungan baik dengan suatu negara termasuk Indonesia. Sebagai negara yang melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi secara konsekwen RFJ melihat Indonesia saat ini sebagai suatu negara yang mengalami transisi sulit dari suatu budaya politik yang diktator sebelumnya berupaya menjadi negara yang demokratis dan transparan dalam mekanisme pelaksanaan pemerintahan.
10. Hubungan baik kedua negara telah terbina sejak lama dan cukup hangat pada saat berkuasanya Presiden Soeharto dan Kanselir Helmut Kohl. Tercatat 4 kali kunjungan Kanselir Helmut Kohl ke Indonesia (1983, 1988, 1993 dan 1996) serta kunjungan Presiden Karl Carstens tahun 1984, sedangkan Presiden Soeharto dua kali mengunjungi Jerman yaitu tahun 1991 dan 1995. Di samping banyaknya saling kunjung dari kepala-kepala negara/pemerintahan tersebut, tercatat pula kunjungan para pejabat tinggi seperti para menteri, Ketua dan anggota Parlemen, Dirjen, Direktur dan para pejabat tinggi lainnya termasuk pula rombongan/misi-misi dagang. Saling kunjung ini merupakan salah satu indikator betapa baiknya hubungan kedua negara yang hingga saat ini masih tetap dapat terpelihara dengan baik.
11. Kalau kita amati pola pendekatan hubungan terhadap Indonesia semasa Kanselir Helmut Kohl dengan Kanselir Gerhard Schroeder (SPD), terdapat perbedaan pendekatan. Pada waktu Helmut Kohl pendekatan hubungan lebih banyak didasarkan pada hubungan pribadi antara Kanselir Helmut Kohl dan Presiden Soeharto tanpa banyak memperhatikan masalah-masalah hak azazi manusia, demokratisasi dan lingkungan. Sedangkan pola pendekatan Kanselir Gerhard Schroeder (SPD) saat ini lebih menekankan kepada 3 hal tersebut di atas. Dengan demikian, walaupun hubungan pendekatan Indonesia – RFJ semasa Helmut Kohl dan Soeharto kurang memperhatikan ketiga hal tersebut di atas, tetapi hubungan tetap berjalan dengan baik, karena dilandasi pada hubungan pribadi yang begitu erat. Pada masa kepemimpinan B. J. Habibie di satu pihak dan Kanselir Gerhard Schroeder (SPD) di lain pihak, hubungan juga berjalan dengan baik, karena adanya komitmen dari Presiden Habibie untuk menata Indonesia agar lebih demokratis dan upaya penyelesaian dan penghormatan masalah hak-hak azazi manusia secara lebih serius, selain juga faktor B. J. Habibie sebagai seorang alumnus dari Aachen, Jerman. Pergantian B. J. Habibie kepada Abdurrahman Wahid sebagai Presiden ke-4 RI tidak merubah hubungan baik yang telah terbina selama ini karena komitmen kuat Presiden Abdurrahman Wahid terhadap masalah-masalah demokratisasi dan masalah hak azazi manusia telah memberikan dorongan kuat bagi terpeliharanya hubungan baik tersebut. Di samping berbagai kepentingan lainnya seperti kepentingan politis dan ekonomis yang melihat Indonesia sebagai suatu kekuatan yang potensial di kedua bidang tersebut.
12. Dalam konteks regional, kerjasama di bidang politik juga cukup erat di mana terlihat dari baiknya hubungan kerjasama antara lain ASEAN – Uni Eropa. Walaupun kerjasama ini dalam bentuk institusi dari kawasan regional namun pendekatan hubungan bilateral tetap mempunyai peranan penting dalam upaya membantu eratnya hubungan tersebut. Tampilnya ASEAN sebagai suatu kekuatan kelompok perlu dibina terus guna menghadapi kekuatan kelompok regional lain yang nampaknya lebih solid seperti Uni Eropa. Sebagai suatu negara yang dianggap penting di ASEAN dan juga oleh Uni Eropa, Indonesia dapat memainkan peranan penting bersama-sama dengan negara berpengaruh di Uni Eropa seperti Jerman. Dalam kenyataannya memang demikian, karena Jerman secara politis tidak pernah usil terhadap Indonesia. Sebagai contoh dapat kita lihat sewaktu penyelesaian masalah Timor-Timur, di mana Jerman selalu konsisten dengan sikapnya yang mendukung upaya penyelesaian masalah tersebut melalui dialog segitiga yang difasilitasi oleh Sekjen PBB sebagai suatu penyelesaian yang dapat diterima secara internasional. Jerman juga tidak ingin masalah Timor Timur dibahas dalam dialog ASEAN – UE dan ASEM. Namun sebagai anggota UE, kiranya Jerman sulit seorang diri menentang resolusi Parlemen Eropa mengenai Timor Timur dan resolusi lainnya yang berkaitan dengan Indonesia khususnya pada masa-masa sulit pasca jajak pendapat di Timor Timur yang menimbulkan banyak persoalan seperti adanya tuduhan masalah pelanggaran hak azazi manusia.
13. Dalam konteks internasional, pendekatan secara bilateral juga terbina dengan baik. Kerjasama ini dapat terwujud antara lain dalam bentuk saling meminta dukungan politis bagi pencalonan calon masing-masing pihak di berbagai fora internasional khususnya badan-badan PBB. Pendekatan dapat dilakukan oleh Kedubes masing-masing pihak di Kementerian Luar Negeri negara akreditasi atau juga dapat dilakukan bersamaan oleh Dubes masing-masing pihak yang diakreditasi pada PBB. Saling mendukung seperti ini adalah hal yang lumrah namun bila hubungan bilateral yang tidak begitu baik dan kurangnya lobby terhadap negara setempat maka jangan diharapkan dukungan tersebut dapat diperoleh. Saling dukung juga dapat terjadi pada badan-badan internasional yang berbeda misalnya Jerman mendukung keanggotaan Indonesia di International Maritime Organization (IMO) sedangkan Indonesia mendukung keanggotaan Jerman di International Civil Aviation Organization (ICAO). Prinsip saling dukung ini dapat berjalan lancar bila masing-masing pihak merasa sangat berkepentingan untuk mendapatkan dukungan. Adakalanya permintaan dukungan hanya sepihak (tidak saling dukung) oleh salah satu negara, misalnya Indonesia meminta dukungan calon Indonesia menjadi anggota Hakim Mahkamah International Hukum Laut, namun karena ada pertimbangan-pertimbangan tertentu maka Jerman tidak dapat mendukung calon Indonesia tetapi mendukung calon dari negara lain, dan begitu pula sebaliknya bagi Indonesia bila ada permintaan dukungan dari salah negara anggota ASEAN maka prinsip utama dukungan perlu memperhatikan negara anggota di kawasan dari pada negara-negara di luar kawasan.
Dalam praktek di multilateral, tidak jarang delegasi Indonesia bekerjasama dengan delegasi Jerman dalam upaya menyelaraskan posisi terhadap suatu masalah yang sedang dibahas seperti isi rancangan resolusi, co-sponsor resolusi dan hal-hal lain yang sangat bermanfaat bagi kelanjutan kerjasama antara kedua belah pihak.
14. Kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid yang didampingi beberapa Menteri terkait dan sejumlah besar pengusaha Indonesia ke Bonn dan Berlin tanggal 3-4 Pebruari lalu, telah lebih mempererat hubungan baik kedua negara. Sejak bergulirnya reformasi di Indonesia yang mampu menumbangkan rezim otoriter, Indonesia kini telah bangkit menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Momentum yang baik ini perlu dijaga terus untuk lebih memantapkan pertumbuhan demokrasi kita, dan itulah salah satu inti misi kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid ke beberapa negara termasuk Jerman untuk mendapatkan dukungan politis terhadap pemerintahan baru Indonesia yang dipilih secara demokratis, selain juga upaya untuk memulihkan citra Indonesia dan menarik investasi asing ke Indonesia.
Untuk lebih memantapkan hubungan yang sangat baik saat ini, kiranya Indonesia perlu lebih banyak menyerap teknologi dan investasi Jerman ke Indonesia. Kedua bidang tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang tidak sedikit, sehingga kerjasama di bidang pendidikan kiranya amat penting bagi persiapan penyediaan sumber daya manusia tersebut. Untuk investasi nampaknya tidak ada masalah bagi Jerman karena sumber daya alam dan sumber tenaga manusia tersedia banyak di Indonesia. Hanya saat ini yang agak mengganggu bagi investasi asing adalah masalah kestabilan politik dan keamanan serta kepastian hukum. Apabila hal ini dapat diatasi, maka dapat dipastikan bahwa investasi dan teknologi Jerman secara berangsur-angsur akan datang ke Indonesia.

Artikel Cakrawala TNI AL

Kerjasama Internasional merupakan bagian integral dan kebijakan luar negeri Indonesia sebagai salah satu jembatan untuk mem-bangun rasa saling percaya dengan bangsa-bangsa lain. Keterlibatan Indonesia secara aktif dalam men-jamin stabilitas dan perdamaian dunia telah ditun-jukkan melalui pengiriman pasukan perdamaian ke sejumlah negara di dunia yang dilanda konflik. Keter-libatan Indonesia untuk menciptakan perdamaian dunia telah dimulai sejak tahun 1957 dengan mengi-rimkan Kontingen Garuda I ke Mesir, dengan me-laksanakan tugas pengawasan polisionil, gencatan senjata, perlindungan keamanan keselamatan serta bantuan kemanusiaan.

Selama 49 tahun turut melaksanakan tugas-tugas Internasional, telah mengirimkan lebih dan 95 Kontingen Garuda dan Pengamat Militer ke beberapa negara yang tersebar di tiga benua yakni Asia, Eropa dan Afrika. Dalam rangka turut memelihara regional, kerjasama akan di prioritaskan pada kerjasama bilateral dengan negara-negara di Asia Tenggara dan dengan negara-negara subkawasan Pasifik Barat Daya. ASEAN (South East Asia Nations) serta forum kerjasama keamanan ARF (ASEAN Regional Forum) dan Forum Dialog Pasifik Barat Daya merupakan wadah kerjasama antar negara anggota kawasan yang penting untuk dikembangkan di masa mendatang. Melalui forum-forum tersebut permasalahan-permasalahan kawasan akan dapat diselesaikan dengan mengede-pankan semangat kebersamaan, perimbangan kepentingan yang dibangun berdasarkan prinsip persamaan hak, saling menghormati dan tidak saling intervensi. Kerjasama bilateral diarahkan untuk membangun rasa saling percaya dan memecahkan masalah-masalah keamanan yang dihadapi bersama. Masalah keamanan yang mendesak untuk ditangani bersama adalah mengatasi kejahatan lintas Negara (transnational crime) dan isu-isu keamanan perbatasan lainnya. Wilayah perbatasan yang jauh dan pengawasan sering dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai gerbang kegiatan illegal, misalnya perompakan/pembajakan, penyelundupan, pe-nangkapan lkan secara illegal, perambahan hutan illegal, penggeseran patok-patok perbatasan dan pelintasan batas illegal. Ancaman-ancaman tersebut diatas juga sering terjadi sekitar alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang menyebabkan terganggunya pelayaran di sekitar wilayah tersebut. Akibatnya tidak saja dirasakan oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara lain yang memanfaatkan ketiga ALKI yang ada di Negara kita, Kerjasama Singapura, Ker-jasama pertahanan antara Indonesia-Singapura telah berlangsung lama melalui pembentukan komite kerjasama kedua negara. Kerjasama pertahanan dengan Singapura terus berkembang baik kerjasama ekonomi maupun militer. Selain dalam bentuk ekonomi dan militer, sejak tahun 2000 kerjasama dengan Singapura juga dilaksanakan melalui perjanjian tentang Military Training Area (MTA) sebagai daerah latihan yang dapat digunakan ke dua negara, MTA I di wilayah perairan Tanjung Pinang dan MTA II di Laut Cina Selatan. Tetapi oleh Singapura melibatkan pihak ketiga, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Akibatnya sejak tahun 2003 tidak lagi memberikan fasilitas MTA kepada Singapura hingga sekarang. Indonesia mengusulkan Persetujuan Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) termasuk MTA dan disesuaikan dengan tatanan demokrasi di Indonesia. Dalam menghadapi isu-isu kejahatan lintas negara seperti terorisme, perompakan dan pembajakan, kerjasama dengan Singapura adalah penting. Oleh karena itu perlu ditingkatkan pada tahun-tahun yang akan datang. Malaysia, Kerjasama di bidang Pertahanan dengan Malaysia telah diawali melalui security Arrangement pada tahun 1972, yang kemudian membentuk Ko-mite Perbatasan. Komite Perbatasan tersebut ber-manfaat untuk penanganan isu-isu keamanan di wilayah perbatasan. Isu-isu keamanan tersebut antara lain, perompakan/pembajakan dan penyelun-dupan, perambahan hutan illegal, penggeseran patok-patok perbatasan, dan masalah pelintas batas. Unsur-unsur TNI telah ditempatkan di perbatasan, bekerjasama dengan pihak Malaysia dalam rangka mencegah dan mengatasi isu-isu keamanan perbatasan. Luasnya wilayah yang harus diamankan, serta kondisi alam yang sangat berat, cukup menyulitkan aparat keamanan. Saat ini unsur-unsur TNI yang ditempatkan di perbatasan masih dalam hubungan satuan tugas yang kecil. Ke depan, ke-kuatan dan kemampuan TNI tersebut akan diting-katkan secara bertahap sesuai keperluan dan kondisi. Kerjasama terpadu dengan unsur-unsur dari lemba-ga pemerintah terkait dalam melaksanakan penga-manan wilayah perbatasan sangat penting dan akan di tingkatkan. Selama ini kerjasama di wilayah per-batasan berlangsung dalam mekanisme yang dipayungi forum GBC (General Border Committee) dan JIMBC (Joint Indonesia Malaysia Boundery Committee). Diharapkan forum ini akan menjadi wadah yang efektif TNI dalam menyelesaikan masalah-masalah perbatasan, utamanya sengketa perba-tasan yang terjadi di Blok Ambalat yang sempat terjadi ketegangan antar Angkatan Laut kedua negara.

Kerjasama ekonomi dan militer, sangat ber-manfaat dalam rangka meningkatkan hubungan ke dua negara. Selanjutnya kerjasama juga akan ditingkatkan dalam rangka mengatasi gangguan keamanan yang mendesak seperti terorisme, perompakan/pembajakan di laut, penyelundupan dan kejahatan lintas negara lainnya.
Filipina,
Kerjasama RI-Filipina dalam isu perbatasan telah terjalin melalui forum JBC, dengan agenda yang dilaksanakan secara rutin. Disamping JBC (Joint Border Committee) terdapat forum JCBC (Joint Coffirnision for Bilateral Cooperation) yang mem-bicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan isu-isu keamanan bersama. Antara lain, pe-lintasan batas tradisional, penyelundupan, perom-pakan dan pembajakan di perbatasan maritim dan kejahatan lintas negara lainnya menghadapi isu terorisme dan kejahatan lintas negara lainnya, ker-jasama dengan Filipina penting untuk dikembangkan dan diwujudkan dalam bentuk yang lebih kongkrit.
Thailand
Anggota ASEAN lainnya, Tidak kalah penting-nya adalah kerjasama internasional dengan negara-negara anggota ASEAN yang lain. Kerjasama yang ditempuh selama ini berada dalam mekanisme bilateral, dan ke depan penting untuk terus dilanjutkan dalam rangka mewujudkan stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara.
Papua Nugini (PNG), PNG merupakan negara tetangga disebelah Timur dengan perbatasan darat yang panjang dengan Indonesia. Hubungan bilateral dengan PNG telah berlangsung cukup baik. Sejak awal kedua negara telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan perairan. Isu keamanan yang di-hadapi banyak bersumber dari gangguan keamanan yang dilakukan kelompok separatis OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang memanfaatkan wilayah PNG Seringkali anggota OPM masuk ke wilayah PNG untuk menghindari pengejaran yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Selain itu, kegiatan pelintas batas secara tradisional juga sering dilakukan oleh penduduk yang bermukim di sekitar garis per-batasan.
Dalam menangani isu-isu keamanan tersebut memerlukan kerjasama kedua negara. Wadah kerjasama Indonesia-PNG, yakni JBC (Joint Border Committee) dinilai masih cukup efektif. Berbagai agenda bersama dilaksanakan secara rutin untuk mencegah dan menangani masalah-masalah yang timbul. Ke depan, wadah kerjasama JBC masih tetap diperlukan. Timor Leste, Adanya enclave Oekusi di tengah wilayah Indonesia merupakan kenyataan yang cukup spesifik didalam menangani masalah perbatasan dengan Timor Leste. Lalu lintas manusia dan barang dari Oekusi melalui wilayah Indonesia perlu diatur sedemikian rupa sehingga dapat mem-perkecil potensi gangguan keamanan, terlebih karena masih adanya sentimen-sentimen masa lalu terutana oleh penduduk ex Timor-Timur.
Di wilayah perbatasan darat lainnya juga masih berpotensi timbulnya gangguan keamanan, seperti perdagangan illegal dan penyelundupan, serta gangguan kriminal, termasuk pelintas batas tradisional. Isu-isu milisi yang masih sering diangkat oleh pihak-pihak tertentu, berpotensi mengganggu hubungan kedua negara. Masih terdapatnya sejumlah pengungsi Timor Leste di wilayah Timor Barat juga akan banyak berpengaruh terhadap penyelesaian masalah-masalah keamanan di per-batasan. Penempatan TNI di wilayah perbatasan diharapkan dapat membantu menegakkan keaman-an dan masih perlu dipertahankan keberadaanya.
Perundingan-perundingan bilateral dengan Timor Leste sedang dilaksanakan untuk penentuan batas wilayah kedua negara, serta penyelesaian beberapa masalah yang sedang terjadi dikedua belah pihak.
Australia,
Kerjasama dengan Australia, Indonesia tetap berpijak pada prinsip-prinsip CBM yang mengedepan-kan semangat kebersamaan dan perimbangan kepentingan dan dibangun berdasarkan persamaan hak, saling menghormati, dan tidak mencampuri urusan intern masing-masing. Kerjasama dengan Australia kedepan akan lebih ditingkatkan untuk mengatasi isu-isu kejahatan lintas negara seperti terorisme dan imigran gelap, termasuk dalam penanganan masalah nelayan tradisional. Harapan dengan terjalinnya kerjasama bilateral yang saling menghormati dan tidak saling intervensi, dan dapat memecahkan masalah-masalah keamanan yang dihadapi bersama, sehingga akan mampu mengatasi gangguan keamanan di lintas perbatasan baik batas daratan atau pun batas maritim.
Kerjasama itu harus dibentuk dalam suatu per-janjian agar tidak terjadi pelanggaran persetujuan yang akan mengganggu kedaulatan negara masing-masing yang akhirnya menimbulkan ketegangan ke-dua belah pihak, sehingga menciptakan kurang har-monisnya hubungan bilateral ke dua negara. © (Eko Prasetio)
Australia merupakan tetangga yang berbatasan dengan Indonesia di luar kawasan Asia Tenggara. Hubungan kerjasama Indonesia-Australia telah terjalin lama, namun seringkali mengalami pasang surut sebagai dampak dari pasang surut hubungan politik kedua negara. Kerjasama kedua negara pernah berada pada titik terendah pada tahun 1999 sehubungan dengan posisi Australia dalam penyelesaian masalah Timor Leste. , hubungan dan kerjasama dengan Thailand berlangsung sejak lama dan cukup baik. Dengan Thailand terdapat kesamaan pandangan terutama dalam menyikapi isu-isu keamanan non tradisional di kawasan Asia Tenggara. Sejauh ini Thailand banyak membantu Indonesia untuk mengatasi pelaku tindak kejahatan lintas negara yang berusaha menyelun-dupkan senjata yang akan digunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Khusus dalam menangani isu terorisme International, dan kejahatan lintas negara lainnya, kerjasama dengan Thailand di masa-masa mendatang penting untuk dikembangkan dan diwujudkan dalam bentuk yang lebih operasional. Hubungan dengan Filipina telah berlangsung lama dan terjalin cukup baik. Hubungan Indonesia-Filipina makin erat dengan keterlibatan Indonesia dalam beberapa kali pengiriman personel militer yang bertugas sebagai pengawas internasional dalam masalah Moro. Hingga saat ini belum ada kesepakatan tentang batas maritim ke dua negara.

Selasa, 30 Maret 2010

Kewarganegaraan Ganda Sejalan Dengan Prinsip HAM

Kewarganegaraan Ganda Sejalan Dengan Prinsip HAM

Menurut Zulfa, dalam hal perkawinan campuran, berdasarkan pasal 1b Undang-undang No 62 tahun 1958 menyatakan bahwa , Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang WNI. Hal ini berarti, UU No 62 tahun 1958 ini menganut asas ius sanguinis (keturunan), yaitu anak-anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan sah akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya dimanapun ia dilahirkan. Dengan demikian bila terjadi perkawinan antara perempuan WNI dengan laki-laki WNA, maka anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan asing si ayah. Perkecualian negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi anak-anak yang dilahirkan, sehingga berakibat anak menjadi “stateless”, “apatride” tanpa kewarganegaraan.
Namun demikian, dalam Hukum Perdata Internasional, untuk memperoleh kewarganegaraan selain dianut asas ius sanguinis, dikenal pula prinsip asas ius soli dimana kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh negara dimana dilahirkan. Dianutnya asas ius soli oleh suatu negara dapat berakibat terjadinya kewarganegaraan ganda (biparide, dual nationality) terhadap anak yang dilahirkan di negara itu, kalau negara orang tua si anak menganut asas ius sanguinis
Namun demikian, dalam kenyataan selama ini dengan dianutnya asas ius sanguinis telah terjadi berbagai permasalahan yang terjadi karena perkawinan campuran di Indonesia, dan secara khusus merugikan perempuan WNI dan anak-anaknya. Dengan asas ini maka bila seorang WNI perempuan menikah dengan laki-laki WNA dan tinggal di Indonesia, maka status kewarganegaraan anaknya seperti yang dianut ayahnya bukan seperti status kewarganegaraan ibunya.
Jika terjadi perceraian yang dikarenakan oleh beberapa sebab, maka perempuan tidak bisa mendapatkan hak asuhnya atas anak tersebut, padahal anak itu dilahirkan oleh si ibu dan ditempat dimana si ibu tinggal. Persoalan inilah yang menyebabkan banyak perempuan yang menikah campuran rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, karena yang ditakutkan adalah percerian yang berakibat pada dideportasinya anak untuk mengikuti ayahnya yang berkewarganegaraan asing.
Menurut Zulfa, dengan adanya berbagai masalah yang timbul sebagai akibat terjadinya perkawinan campuran ini di Indonesia, terutama yang merugikan anak-anak yang dilahirkan, dan melihat kecenderungan di dunia internasional dewasa ini yang lebih condong pada penggunaan prinsip ius soli daripada ius sanguinis, maka tidak ada salah Indonesia juga memikirkan mengubah prinsip itu. Dengan perubahan itu sangat memungkinkan Indonesia mempertimbangkan untuk memperbolehkan terjadinya kewarganegaraan ganda, dalam hal perkawinan campuran.
Bagi Zulfa, perubahan prinsip tersebut sejalan pula dengan hal yang berlaku di dalam hukum perdata internasional dewasa ini yang kecenderungannya memakai prinsip domisili dari pada nasionalitas (kewarganegaraan), terutama bila terjadi masalah, misalnya perceraian dari pasangan berbeda kewarganegaraan.
Dianutnya asas kewarganegaraan ganda ini memang masih menjadi perdebatan yang meresahkan bagi banyak pihak, khususnya kelompok yang berpandangan bahwa kewarganegaraan wujud dari identitas nasionalisme. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran Ramly Hutabarat, staf ahli Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Menurut Ramly, kewarganegaraan ganda mungkin bisa dterapkan tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek lain seperti hukum, ekonomi, politik dan keamanan dari seseorang yang berkewarganegaraan ganda. Ramly mencontohkan misalnya seorang yang berkewarganegaraan ganda ini ternyata seorang teroris, maka akan menghadapi kesulitan dalan penyelenggaraan hukumnya.
Namun demikian kecemasan Ramly ini dengan tegas diluruskan oleh Zulfa pakar hukum internasional ini. Menurut Zulfa, hukum yang berlakudalam hal terjadinya kewarganegaraan ganda pada umumnya akan dianut atau harus dipilih salah satu yang dapat dipergunakan sebagai titik taut yang menentukan. Menurut Zulfa ada dua alternatif pilihan yang bisa ditentukan, Pertama akan dipakai hukum sang hakim (lex fori), yaitu apabila salah satu dari kewarganegraan itu merupakan pula hukum dari pada negara dimana perkara diajukan. Bila seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda dan salah satunya dalah WNI, maka orang ini tidak bisa dianggap sebagai orang asing. Orang itu adalah WNI. Jika terjadi masalah hukum dimana, peristiwa hukum itu terjadi, maka orang itu bisa diperkarakan secara hukum pula di tempat pelanggaran hukum itu terjadi.
Kedua Akan dipakai kewarganeragaan yang efektif atau aktif dari orang yang diperkarakan apabila kedua kewarganeharaan itu merupakan kewarganegaraan asing (bagi sang hakim). Suatu kewarganegaraan dapat dianggap efektif dan aktif, jika hungungan juridis antara orang dan negara bersangkutan adalah sesuai dengan keadaan hidup de fakto, tingkah laku, perasaan-perasaan dari orang bersangkutan. Hakim harus menyelidiki kewarganeraan manakah yang paling hidup bagi yang bersangkutan ini.
Tujuh Poin Penting Pandangan kelompok Perempuan Terhadap RUU Kewarganegaraan.

Dalam catatan kekompok perempuan yang tergabung dalam Jaringan kerja Prolegnas Pro Perempuan, ada dua masalah masalah mendasar pada UU No 62. tahun 1958 tersebut, pertama UU tersebut diskriminatif terhadap perempuan, karena; (1) Ibu tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya. (2) Perempuan dapat kehilangan kewarganegaraan karena perkawinan/perceraian, (3) Perempuan dan anak dalam perkawinan campuran yang menjadi korban sulit memperoleh keadilan secara hukum dan (4) pembatasan hak perempuan untuk bekerja dalam perkawinan campuran.
Masalah kedua, menurut kelompok perempuan kewarganegaraan berpotensi merusak keutuhan keluarga dikarenakan (1) anak tidak otomatis mendapatkan hak asuh dari ibunya. Karena negara mengharuskan anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya, sehingga akan menyulitkan pengasuhan dan pemeliharaan anak dengan status kewarganegaraannya berbeda dengan ibunya yang WNI. (2) Perempuan dapat kehilangan hak pengasuhan anak karena perpisahan dan anak akan kehilangan hak untuk tetap diasuh di Indonesia dari ibunya yang WNA ketika ayahnya yang WNI meninggal atau bercerai atau mencabut sponsor atas ibunya yang WNA. (3) Bila suami WNA kehilangan pekerjaanya di Indonesia, maka suami dan anak harus keluar dari Indonesia kecuali memiliki visa turis atau visa kunjungan yang hanya berlaku dua bulan. Dan (4) Anak/ibu WNA memerlukan ijin masuk kembali ke Indonesia setelah meninggalkan Indonesia seperti yang diberlakukan bagi para expatriate yang bekerja di Indonesia.
Berdasarkan sejumlah masalah dalam UU.No26 tahun 1958 diatas, kelompok perempuan mendesak agar Amandemen UU Kewarganegaraan harus memuat ketentuan-ketentuan, yang terdiri atas tujuh poin penting yaitu:
Pertama, memberikan hak yang sama bagi suami/istri atau bapak/ibu untuk menentukan kewarganegaraan anak-anak dari perkawinan tersebut. Kedua memberikan hak atau kemandirian hukum bagi masing-masing individu untuk mempertahankan atau melepaskan kewarganegaraannya. Perceraian / kematian / kehilangan kewarganegaraan pasangan / orang tua tidak menyebabkan hilangnya kewarganegaraan baik bagi pasangan anak-anak dari perkawinan tersebut.
Ketiga, menegaskan hak anak untuk mendapatkan kewarganegaraan Republik Indonesia tanpa diskriminasi termasuk (a) Anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tanpa harus kehilangan haknya untuk mendapatkan kewarganegaraan dari bapak/ibunya yang berkewarganegaraan asing dimanapun anak itu dilahirkan; (b) anak yang lahir dari seorang ibu WNA yang tidak punya hubungan hukum dengan bapaknya yang WNI, tapi diakui oleh bapaknya yang WNI dihadapan pejabat yang berwenang atau dapat dibuktikan dengan penetapan pengadilan.
Keempat memberikan hak kepada pasangan istri/suami WNA untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dari suami/istri WNI tanpa harus kehilangan kewarganegaraan aslinya dengan persyaratan tertentu untuk menghindari penyelundupan hukum. Persyaratan tertentu tersebut dapat berupa: usia perkawinan sudah lima tahun atau sudah mempunyai anak dari perkawinan tersebut.
Kelima, memberikan kemudahan bagi keluarga perkawinan campuran yang karena negara asingnya tidak memperbolehkan kewarganegaraan ganda, untuk dapat tinggal di Indonesia dengan menjadi penduduk tetap sehingga memungkinkan mereka dapat hidup di Indonesia secara wajar dan diperlakukan sebagai layaknya warga negara kecuali dalam hal memilih dan dipilih dalam pemilu.
Keenam, kematian / perceraian pasangan tidak menyebabkan seseorang kehilangan status penduduk tetap. Hilangnya status penduduk tetap hanya bila yang bersangkutan meninggalkan Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut.
Ketujuh, kewarganegaraan seharusnya berlaku seumur hidup dan tidak seorangpun berhak mencabut kewarganegaraan seseorang kecuali bila seseorang dengan kemauannya sendiri melepaskan kewarganegaraanya atau betul-betul terbukti melakukan sesuatu yang merugikan negara yang melibatkan negara lain.
1. Sejarah pendidikan moral di Indonesia
Secara ringkas pendidikan moral atau budi pekerti di Indonesia mengalami
perkembangan sebagai berikut;
1. Pendidikan moral pada masa tradisional (masa koloinial dan sebelumnya)
berisikan nilai-nilai adat dan kemasyarakatan. Pendidikan saat ini
dilakukan di lembaga-lembaga informal seperti pondok, padepokan, dan
sekolah agama
2. Pendidikan moral pada awal Indonesia merdeka dilaksanakan melalui
pendidikan agama dan budi pekerti
3. Pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti tetap dipertahankan.
Namun dalam era berikutnya tumbuh kebutuhan negara untuk menjadikan
warga negara Indonesia yang baik. Tuntutan itu menandainya munculnya
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia . Sejarah perkembangan
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dapat dikemukakan sebagai
berikut;
a. Munculnya mata pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 1957
b. Keluar Civics sebagai pengganti Kewarganegaraan tahun 1961
c. Munculnya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara tahun 1968
d. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) tahun 1975 dan 1984
e. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994
f. Pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 2004
g. Perkembangan terakhir adalah keluarya standar isi dan kompetensi mata
pelajaran pada tahun 2006. Pelajaran Kewarganegaraan bergati nama menjadi
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Dewasa ini, muncul tuntutan perlunya kembali pendidikan budi pekerti di
persekolahan. Dalam draf kurikulum 2001 telah keluar kurikulum Pendidikan
Budi Pekerti. Namun pendidikan budi pekerti tampaknya tidak muncul dalam

1
________________________________________
bentuk mata pelajaran tersendiri. Pendidikan Budi Pekerti terintegrasi dalam
semua mata pelajaran serta melalui pengintegrasian dalam kegiatan-kegiatan
di sekolah.

2. Pancasila berisi nilai-nilai moral
Secara filosofis , Pancasila pada dasarnya berisikan seperangkat nilai –nilai
moral. Nilai nilai moral itu bersifat dasar yang meliputi nilai Ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan , nilai kerakyatan dan nilai keadilan.
Nilai –nilai itu dijadikan dasar negara dan ideologi nasional Indonesia. Sebagai
dasar negara, nilai moral Pancasila menjadi landasan filosofis penyelenggaraan
bernegara. Sebagai ideologi , nilai moral Pancasila menjadi cita-cita bernegara.
Dalam rangka sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila diperlukan media dalam
bentuk pendidikan nilai moral Pancasila. Sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila
dimunculkan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
berdasar kurikulum 1975 dan 1984.
Sosialisasi tersebut semakin dipertegas dengan munculnya pelajaran
PPKnberdasar Kurikulum 1994. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ke-
warganegaraan (PPKn) berisikan materi dan pengalaman belajar yang
diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara
konseptual terkandung dalam Pancasila.
Dalam naskah terakhir Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan , nilai-nilai
Pancasila tetap merupakan sumber nilai bagi pendidikan kewarganegaraan. Hal
ini dibuktikan dengan masih terdapatnya aspek nilai-nilai Pancasila sebagai
salah satu kajian dalam kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini
menunjukkan bahwa Pancasila yang berisikan nilai moral menjadi salah satu
sumber bagi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.
Nilai-nilai moral tidak hanya terdapat dalam nilai Pancasila. Nilai-nilai moral
terdapat dalam budaya bangsa setempat yang sifatnya partikular. Nilai-nilai ini
dapat dikatakan nilai-nilai moral lokal. Nilai-nilai moral lokal dapat pula
doangkap sevgai materi pendidikan moral.

3. Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education)
Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) mulai mencuat kembali
sejak ada rencana perlunya perubahan kurikulum 1994. Dalam draf naskah
awal kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001 sampai 2004, dimunculkan
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai alternatif pengganti mata pelajaran
PPKn.
Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru ini lebih ditekankan pada esensi
sebagai pendidikan demokrasi di Indonesia. Dewasa ini tumbuh gagasan yang
kuat untuk menempatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama
dan esensi dari pendidikan Demokrasi. (Udin S, 2001). Hal ini sejalan dengan
perlunya demokrasi ditegakkan di masa sekarang.
Namun secara luas Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak hanya
menampung esensi sebagai pendidikan demokrasi. Dari isi pendidikan
kewarganegaraan yang ada baik pendidikan kewarganegaraan di persekolahan
maupun pendidikan tinggi, maka pendidikan kewarganegaraan memuat misi
sebagai berikut;

2
________________________________________

a. pendidikan demokrasi
Pendidikan Kewarganegaraan mengemban tugas menyiapkan peserta didik
menjadi warga negara yang demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi
negara . Dengan Pendidikan Kewarganegaraan maka akan ada sosialisasi,
diseminasi dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Dewasa
ini tuntutan pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi
menjadi sesuatu yang esensial.
b. pendidikan kewarganegaraan (civisc education)
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan kewarganegaraan dalam arti
sesungguhnya yaitu civic education. Berdasar hal ini maka Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkenaan dengan peranan , tugas, hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Pendapat ini didasarkan pada terminologi dari civic education
c. pendidikan nilai atau kharakter
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan nilai
kewarganegaraan yang dianggap baik sehingga terbentuk warga negara yang
berkarakter bagi bangsa bersangkutan
d. pendidikan bela negara
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membentuk peserta didik agar memiliki
kesadaran bela negara sehingga dapat diandalkan untuk menjaga kelangsungan
negara dari berbagai ancaman.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai mempunyai tugas
menanamkan nilai-nilai moral bangsa, nilai-nilai ideologi nasional sehingga
mampu membentuk warga negara yang berkarakter baik. Nilai-nilai moral
bangsa Indonesia tersebut tentunya tidak lepas dari nilai-nilai Pancasila.
Berdasar ini menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan menampung
pula misi sebagai pendidikan moral /nilai di Indonesia.