Selasa, 30 Maret 2010

Kewarganegaraan Ganda Sejalan Dengan Prinsip HAM

Kewarganegaraan Ganda Sejalan Dengan Prinsip HAM

Menurut Zulfa, dalam hal perkawinan campuran, berdasarkan pasal 1b Undang-undang No 62 tahun 1958 menyatakan bahwa , Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya seorang WNI. Hal ini berarti, UU No 62 tahun 1958 ini menganut asas ius sanguinis (keturunan), yaitu anak-anak yang dilahirkan dalam suatu perkawinan sah akan mengikuti kewarganegaraan ayahnya dimanapun ia dilahirkan. Dengan demikian bila terjadi perkawinan antara perempuan WNI dengan laki-laki WNA, maka anak-anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan asing si ayah. Perkecualian negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi anak-anak yang dilahirkan, sehingga berakibat anak menjadi “stateless”, “apatride” tanpa kewarganegaraan.
Namun demikian, dalam Hukum Perdata Internasional, untuk memperoleh kewarganegaraan selain dianut asas ius sanguinis, dikenal pula prinsip asas ius soli dimana kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh negara dimana dilahirkan. Dianutnya asas ius soli oleh suatu negara dapat berakibat terjadinya kewarganegaraan ganda (biparide, dual nationality) terhadap anak yang dilahirkan di negara itu, kalau negara orang tua si anak menganut asas ius sanguinis
Namun demikian, dalam kenyataan selama ini dengan dianutnya asas ius sanguinis telah terjadi berbagai permasalahan yang terjadi karena perkawinan campuran di Indonesia, dan secara khusus merugikan perempuan WNI dan anak-anaknya. Dengan asas ini maka bila seorang WNI perempuan menikah dengan laki-laki WNA dan tinggal di Indonesia, maka status kewarganegaraan anaknya seperti yang dianut ayahnya bukan seperti status kewarganegaraan ibunya.
Jika terjadi perceraian yang dikarenakan oleh beberapa sebab, maka perempuan tidak bisa mendapatkan hak asuhnya atas anak tersebut, padahal anak itu dilahirkan oleh si ibu dan ditempat dimana si ibu tinggal. Persoalan inilah yang menyebabkan banyak perempuan yang menikah campuran rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, karena yang ditakutkan adalah percerian yang berakibat pada dideportasinya anak untuk mengikuti ayahnya yang berkewarganegaraan asing.
Menurut Zulfa, dengan adanya berbagai masalah yang timbul sebagai akibat terjadinya perkawinan campuran ini di Indonesia, terutama yang merugikan anak-anak yang dilahirkan, dan melihat kecenderungan di dunia internasional dewasa ini yang lebih condong pada penggunaan prinsip ius soli daripada ius sanguinis, maka tidak ada salah Indonesia juga memikirkan mengubah prinsip itu. Dengan perubahan itu sangat memungkinkan Indonesia mempertimbangkan untuk memperbolehkan terjadinya kewarganegaraan ganda, dalam hal perkawinan campuran.
Bagi Zulfa, perubahan prinsip tersebut sejalan pula dengan hal yang berlaku di dalam hukum perdata internasional dewasa ini yang kecenderungannya memakai prinsip domisili dari pada nasionalitas (kewarganegaraan), terutama bila terjadi masalah, misalnya perceraian dari pasangan berbeda kewarganegaraan.
Dianutnya asas kewarganegaraan ganda ini memang masih menjadi perdebatan yang meresahkan bagi banyak pihak, khususnya kelompok yang berpandangan bahwa kewarganegaraan wujud dari identitas nasionalisme. Hal ini pula yang menjadi kekhawatiran Ramly Hutabarat, staf ahli Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Menurut Ramly, kewarganegaraan ganda mungkin bisa dterapkan tetapi perlu dipertimbangkan aspek-aspek lain seperti hukum, ekonomi, politik dan keamanan dari seseorang yang berkewarganegaraan ganda. Ramly mencontohkan misalnya seorang yang berkewarganegaraan ganda ini ternyata seorang teroris, maka akan menghadapi kesulitan dalan penyelenggaraan hukumnya.
Namun demikian kecemasan Ramly ini dengan tegas diluruskan oleh Zulfa pakar hukum internasional ini. Menurut Zulfa, hukum yang berlakudalam hal terjadinya kewarganegaraan ganda pada umumnya akan dianut atau harus dipilih salah satu yang dapat dipergunakan sebagai titik taut yang menentukan. Menurut Zulfa ada dua alternatif pilihan yang bisa ditentukan, Pertama akan dipakai hukum sang hakim (lex fori), yaitu apabila salah satu dari kewarganegraan itu merupakan pula hukum dari pada negara dimana perkara diajukan. Bila seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda dan salah satunya dalah WNI, maka orang ini tidak bisa dianggap sebagai orang asing. Orang itu adalah WNI. Jika terjadi masalah hukum dimana, peristiwa hukum itu terjadi, maka orang itu bisa diperkarakan secara hukum pula di tempat pelanggaran hukum itu terjadi.
Kedua Akan dipakai kewarganeragaan yang efektif atau aktif dari orang yang diperkarakan apabila kedua kewarganeharaan itu merupakan kewarganegaraan asing (bagi sang hakim). Suatu kewarganegaraan dapat dianggap efektif dan aktif, jika hungungan juridis antara orang dan negara bersangkutan adalah sesuai dengan keadaan hidup de fakto, tingkah laku, perasaan-perasaan dari orang bersangkutan. Hakim harus menyelidiki kewarganeraan manakah yang paling hidup bagi yang bersangkutan ini.
Tujuh Poin Penting Pandangan kelompok Perempuan Terhadap RUU Kewarganegaraan.

Dalam catatan kekompok perempuan yang tergabung dalam Jaringan kerja Prolegnas Pro Perempuan, ada dua masalah masalah mendasar pada UU No 62. tahun 1958 tersebut, pertama UU tersebut diskriminatif terhadap perempuan, karena; (1) Ibu tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya. (2) Perempuan dapat kehilangan kewarganegaraan karena perkawinan/perceraian, (3) Perempuan dan anak dalam perkawinan campuran yang menjadi korban sulit memperoleh keadilan secara hukum dan (4) pembatasan hak perempuan untuk bekerja dalam perkawinan campuran.
Masalah kedua, menurut kelompok perempuan kewarganegaraan berpotensi merusak keutuhan keluarga dikarenakan (1) anak tidak otomatis mendapatkan hak asuh dari ibunya. Karena negara mengharuskan anak mengikuti kewarganegaraan bapaknya, sehingga akan menyulitkan pengasuhan dan pemeliharaan anak dengan status kewarganegaraannya berbeda dengan ibunya yang WNI. (2) Perempuan dapat kehilangan hak pengasuhan anak karena perpisahan dan anak akan kehilangan hak untuk tetap diasuh di Indonesia dari ibunya yang WNA ketika ayahnya yang WNI meninggal atau bercerai atau mencabut sponsor atas ibunya yang WNA. (3) Bila suami WNA kehilangan pekerjaanya di Indonesia, maka suami dan anak harus keluar dari Indonesia kecuali memiliki visa turis atau visa kunjungan yang hanya berlaku dua bulan. Dan (4) Anak/ibu WNA memerlukan ijin masuk kembali ke Indonesia setelah meninggalkan Indonesia seperti yang diberlakukan bagi para expatriate yang bekerja di Indonesia.
Berdasarkan sejumlah masalah dalam UU.No26 tahun 1958 diatas, kelompok perempuan mendesak agar Amandemen UU Kewarganegaraan harus memuat ketentuan-ketentuan, yang terdiri atas tujuh poin penting yaitu:
Pertama, memberikan hak yang sama bagi suami/istri atau bapak/ibu untuk menentukan kewarganegaraan anak-anak dari perkawinan tersebut. Kedua memberikan hak atau kemandirian hukum bagi masing-masing individu untuk mempertahankan atau melepaskan kewarganegaraannya. Perceraian / kematian / kehilangan kewarganegaraan pasangan / orang tua tidak menyebabkan hilangnya kewarganegaraan baik bagi pasangan anak-anak dari perkawinan tersebut.
Ketiga, menegaskan hak anak untuk mendapatkan kewarganegaraan Republik Indonesia tanpa diskriminasi termasuk (a) Anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tanpa harus kehilangan haknya untuk mendapatkan kewarganegaraan dari bapak/ibunya yang berkewarganegaraan asing dimanapun anak itu dilahirkan; (b) anak yang lahir dari seorang ibu WNA yang tidak punya hubungan hukum dengan bapaknya yang WNI, tapi diakui oleh bapaknya yang WNI dihadapan pejabat yang berwenang atau dapat dibuktikan dengan penetapan pengadilan.
Keempat memberikan hak kepada pasangan istri/suami WNA untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dari suami/istri WNI tanpa harus kehilangan kewarganegaraan aslinya dengan persyaratan tertentu untuk menghindari penyelundupan hukum. Persyaratan tertentu tersebut dapat berupa: usia perkawinan sudah lima tahun atau sudah mempunyai anak dari perkawinan tersebut.
Kelima, memberikan kemudahan bagi keluarga perkawinan campuran yang karena negara asingnya tidak memperbolehkan kewarganegaraan ganda, untuk dapat tinggal di Indonesia dengan menjadi penduduk tetap sehingga memungkinkan mereka dapat hidup di Indonesia secara wajar dan diperlakukan sebagai layaknya warga negara kecuali dalam hal memilih dan dipilih dalam pemilu.
Keenam, kematian / perceraian pasangan tidak menyebabkan seseorang kehilangan status penduduk tetap. Hilangnya status penduduk tetap hanya bila yang bersangkutan meninggalkan Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut.
Ketujuh, kewarganegaraan seharusnya berlaku seumur hidup dan tidak seorangpun berhak mencabut kewarganegaraan seseorang kecuali bila seseorang dengan kemauannya sendiri melepaskan kewarganegaraanya atau betul-betul terbukti melakukan sesuatu yang merugikan negara yang melibatkan negara lain.
1. Sejarah pendidikan moral di Indonesia
Secara ringkas pendidikan moral atau budi pekerti di Indonesia mengalami
perkembangan sebagai berikut;
1. Pendidikan moral pada masa tradisional (masa koloinial dan sebelumnya)
berisikan nilai-nilai adat dan kemasyarakatan. Pendidikan saat ini
dilakukan di lembaga-lembaga informal seperti pondok, padepokan, dan
sekolah agama
2. Pendidikan moral pada awal Indonesia merdeka dilaksanakan melalui
pendidikan agama dan budi pekerti
3. Pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti tetap dipertahankan.
Namun dalam era berikutnya tumbuh kebutuhan negara untuk menjadikan
warga negara Indonesia yang baik. Tuntutan itu menandainya munculnya
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia . Sejarah perkembangan
pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dapat dikemukakan sebagai
berikut;
a. Munculnya mata pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 1957
b. Keluar Civics sebagai pengganti Kewarganegaraan tahun 1961
c. Munculnya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara tahun 1968
d. Pendidikan Moral Pancasila (PMP) tahun 1975 dan 1984
e. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994
f. Pelajaran Kewarganegaraan pada tahun 2004
g. Perkembangan terakhir adalah keluarya standar isi dan kompetensi mata
pelajaran pada tahun 2006. Pelajaran Kewarganegaraan bergati nama menjadi
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Dewasa ini, muncul tuntutan perlunya kembali pendidikan budi pekerti di
persekolahan. Dalam draf kurikulum 2001 telah keluar kurikulum Pendidikan
Budi Pekerti. Namun pendidikan budi pekerti tampaknya tidak muncul dalam

1
________________________________________
bentuk mata pelajaran tersendiri. Pendidikan Budi Pekerti terintegrasi dalam
semua mata pelajaran serta melalui pengintegrasian dalam kegiatan-kegiatan
di sekolah.

2. Pancasila berisi nilai-nilai moral
Secara filosofis , Pancasila pada dasarnya berisikan seperangkat nilai –nilai
moral. Nilai nilai moral itu bersifat dasar yang meliputi nilai Ketuhanan, nilai
kemanusiaan, nilai persatuan , nilai kerakyatan dan nilai keadilan.
Nilai –nilai itu dijadikan dasar negara dan ideologi nasional Indonesia. Sebagai
dasar negara, nilai moral Pancasila menjadi landasan filosofis penyelenggaraan
bernegara. Sebagai ideologi , nilai moral Pancasila menjadi cita-cita bernegara.
Dalam rangka sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila diperlukan media dalam
bentuk pendidikan nilai moral Pancasila. Sosialisasi nilai-nilai moral Pancasila
dimunculkan melalui mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila)
berdasar kurikulum 1975 dan 1984.
Sosialisasi tersebut semakin dipertegas dengan munculnya pelajaran
PPKnberdasar Kurikulum 1994. Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Ke-
warganegaraan (PPKn) berisikan materi dan pengalaman belajar yang
diorganisasikan secara spiral/artikulatif atas dasar butir-butir nilai yang secara
konseptual terkandung dalam Pancasila.
Dalam naskah terakhir Kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan , nilai-nilai
Pancasila tetap merupakan sumber nilai bagi pendidikan kewarganegaraan. Hal
ini dibuktikan dengan masih terdapatnya aspek nilai-nilai Pancasila sebagai
salah satu kajian dalam kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini
menunjukkan bahwa Pancasila yang berisikan nilai moral menjadi salah satu
sumber bagi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan di Indonesia.
Nilai-nilai moral tidak hanya terdapat dalam nilai Pancasila. Nilai-nilai moral
terdapat dalam budaya bangsa setempat yang sifatnya partikular. Nilai-nilai ini
dapat dikatakan nilai-nilai moral lokal. Nilai-nilai moral lokal dapat pula
doangkap sevgai materi pendidikan moral.

3. Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education)
Istilah Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) mulai mencuat kembali
sejak ada rencana perlunya perubahan kurikulum 1994. Dalam draf naskah
awal kurikulum berbasis kompetensi tahun 2001 sampai 2004, dimunculkan
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai alternatif pengganti mata pelajaran
PPKn.
Pendidikan Kewarganegaraan paradigma baru ini lebih ditekankan pada esensi
sebagai pendidikan demokrasi di Indonesia. Dewasa ini tumbuh gagasan yang
kuat untuk menempatkan pendidikan kewarganegaraan sebagai wahana utama
dan esensi dari pendidikan Demokrasi. (Udin S, 2001). Hal ini sejalan dengan
perlunya demokrasi ditegakkan di masa sekarang.
Namun secara luas Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia tidak hanya
menampung esensi sebagai pendidikan demokrasi. Dari isi pendidikan
kewarganegaraan yang ada baik pendidikan kewarganegaraan di persekolahan
maupun pendidikan tinggi, maka pendidikan kewarganegaraan memuat misi
sebagai berikut;

2
________________________________________

a. pendidikan demokrasi
Pendidikan Kewarganegaraan mengemban tugas menyiapkan peserta didik
menjadi warga negara yang demokratis untuk mendukung tegaknya demokrasi
negara . Dengan Pendidikan Kewarganegaraan maka akan ada sosialisasi,
diseminasi dan penyebarluasan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat. Dewasa
ini tuntutan pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi
menjadi sesuatu yang esensial.
b. pendidikan kewarganegaraan (civisc education)
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan kewarganegaraan dalam arti
sesungguhnya yaitu civic education. Berdasar hal ini maka Pendidikan
Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan peserta didik berkenaan dengan peranan , tugas, hak, kewajiban
dan tanggung jawab sebagai warga negara dalam berbagai aspek kehidupan
bernegara. Pendapat ini didasarkan pada terminologi dari civic education
c. pendidikan nilai atau kharakter
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membina dan mengembangkan nilai
kewarganegaraan yang dianggap baik sehingga terbentuk warga negara yang
berkarakter bagi bangsa bersangkutan
d. pendidikan bela negara
Pendidikan Kewarganegaraan bertugas membentuk peserta didik agar memiliki
kesadaran bela negara sehingga dapat diandalkan untuk menjaga kelangsungan
negara dari berbagai ancaman.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai mempunyai tugas
menanamkan nilai-nilai moral bangsa, nilai-nilai ideologi nasional sehingga
mampu membentuk warga negara yang berkarakter baik. Nilai-nilai moral
bangsa Indonesia tersebut tentunya tidak lepas dari nilai-nilai Pancasila.
Berdasar ini menunjukkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan menampung
pula misi sebagai pendidikan moral /nilai di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar